Implementasi Ekonomi Biru Sektor Pariwisata Bahari dengan Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan Daerah Sulawesi Tengah Berbasis Kearifan Lokal

Oleh: Dr. H. Suaib Djafar / Tokoh Masyarakat Sulteng

Pendahuluan

Sulawesi Tengah sebagai salah satu provinsi kepulauan di Indonesia memiliki garis pantai sepanjang lebih dari 6.000 kilometer, dikelilingi oleh Teluk Palu, Teluk Tomini, dan Teluk Tolo. Potensi besar ini menjadikan sektor pariwisata bahari sebagai kekuatan utama dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah. Dalam konteks ini, ekonomi biru hadir sebagai paradigma baru yang tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperhatikan kelestarian lingkungan laut dan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Ekonomi biru berupaya mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan dengan pengelolaan sumber daya laut secara bijaksana, dan di Sulawesi Tengah, pendekatan ini dapat diperkaya dengan kearifan lokal masyarakat pesisir dan suku-suku adat seperti Kaili, Bajo, dan lainnya.

Konsep Ekonomi Biru dan Relevansinya dengan Sulawesi Tengah

Ekonomi biru (blue economy) merupakan pendekatan pembangunan yang memanfaatkan sumber daya laut untuk pertumbuhan ekonomi, meningkatkan mata pencaharian, dan menjaga keberlanjutan ekosistem laut. Sektor pariwisata bahari, termasuk wisata selam, wisata pantai, wisata budaya pesisir, dan kuliner laut, sangat potensial untuk dikembangkan dalam kerangka ini.

Dengan kekayaan biota laut, taman laut seperti Togean dan Donggala, serta tradisi kelautan masyarakat lokal, Sulawesi Tengah memiliki posisi strategis untuk menjadi model ekonomi biru di Kawasan Timur Indonesia.

Pembangunan Berkelanjutan dalam Pariwisata Bahari

Pembangunan sektor pariwisata bahari harus sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang mencakup tiga dimensi utama:

1. Ekonomi: Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan ekonomi lokal, UMKM berbasis laut, dan investasi ramah lingkungan.

2. Lingkungan: Pelestarian ekosistem terumbu karang, pengurangan limbah laut, pengelolaan kawasan konservasi.

3. Sosial-Budaya: Penguatan kapasitas masyarakat lokal, pelestarian tradisi maritim, serta edukasi wisata berbasis budaya.

Peran Kearifan Lokal sebagai Pilar Pengelolaan

Masyarakat adat di Sulawesi Tengah memiliki nilai-nilai lokal yang relevan dengan prinsip ekologi dan harmoni sosial. Beberapa kearifan lokal yang dapat diintegrasikan dalam pembangunan pariwisata bahari antara lain:

Pola pengelolaan laut tradisional seperti sistem larangan menangkap ikan di waktu tertentu

Ritual adat kelautan, seperti “modiu bulavampongeo” dalam komunitas Kaili yang menyucikan alam, bisa dikembangkan sebagai atraksi wisata budaya.

Arsitektur dan kuliner tradisional pesisir, sebagai bagian dari penguatan identitas lokal dan menarik minat wisatawan.

Strategi Implementasi di Daerah

Agar ekonomi biru dapat berjalan optimal dalam sektor pariwisata bahari Sulawesi Tengah, diperlukan langkah-langkah strategis:

1. Perencanaan terintegrasi lintas sektor antara pariwisata, kelautan, lingkungan, dan budaya.

2. Pemberdayaan masyarakat lokal sebagai pelaku utama wisata, melalui pelatihan dan akses modal.

3. Promosi destinasi berbasis digital dengan narasi kearifan lokal dan keberlanjutan.

4. Kemitraan multipihak (lima pilar): kolaborasi antara pemerintah, swasta, akademisi, komunitas, masyarakat dan media.

5. Penerapan regulasi lingkungan yang ketat untuk mencegah eksploitasi sumber daya laut secara masif.

Penutup

Implementasi ekonomi biru di sektor pariwisata bahari Sulawesi Tengah bukan sekadar pengembangan destinasi, melainkan juga bentuk tanggung jawab terhadap generasi mendatang. Dengan memadukan pendekatan berkelanjutan dan kearifan lokal, Sulawesi Tengah dapat menjadi contoh bagaimana wilayah pesisir dan kepulauan membangun secara inklusif, lestari, dan berkarakter. Kini saatnya laut bukan hanya sumber kehidupan Tetapi juga identitas budaya dan Pondasi penghargaan Peradaban dihargai.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *