Abstrak
Bahasa dalam masyarakat tradisional bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga wahana pendidikan moral dan sosial. Pada komunitas masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah, terdapat berbagai ungkapan bijak yang mengandung nilai luhur, salah satunya ialah “Jagai Sumbamu, Nemo Kangudungudu, Nemo Kasabosabo, Pekiri Jarita Belo Alatodea Maondo”.
Ungkapan ini menekankan pentingnya menjaga ucapan, menghindari kata-kata yang menyakiti, dan membudayakan tutur kata santun. Artikel ini membahas makna filosofis ungkapan tersebut serta relevansinya dalam membangun tatanan masyarakat yang harmonis.
Pendahuluan
Masyarakat Kaili memiliki kekayaan tradisi lisan berupa petuah, pepatah, dan ungkapan bijak yang diwariskan turun-temurun. Ungkapan-ungkapan tersebut bukan sekadar hiasan bahasa, melainkan panduan hidup (guiding principles) yang mencerminkan kearifan lokal. Salah satu ungkapan yang masih hidup dan sering dinasihatkan oleh para totua ialah:
Jagai Sumbamu (Jaga mulutmu)
Nemo Kangudungudu (Jangan asal bicara)
Nemo Kasabosabo (Jangan asal komentar)
Pekiri Jarita Belo Alatodea Maondo (Pikirkan ucapan yang baik, rakyat santun dan patuh)
Ungkapan ini sarat makna etika komunikasi yang sangat relevan dalam menjaga keharmonisan sosial di tengah masyarakat yang majemuk, seperti;
1. Jagai Sumbamu (Jaga mulutmu)
Makna utama dari nasihat ini adalah kewaspadaan dalam berucap. Dalam budaya Kaili, lisan dianggap sebagai sumber kebaikan sekaligus keburukan. Ucapan yang tidak terkontrol dapat merusak hubungan sosial, menimbulkan konflik, dan menghilangkan rasa hormat.
2. Nemo Kangudungudu (Jangan asal bicara)
Ungkapan ini menekankan perlunya kehati-hatian dalam menyampaikan pendapat. Orang yang asal bicara dianggap kurang bijaksana yang dapat mengurangi wibawa diri dan mencederai nilai persaudaraan.
3. Nemo Kasabosabo (Jangan asal komentar)
Komentar sembarangan sering kali menimbulkan salah paham. Dalam konteks budaya Kaili, sikap ini dinilai tidak etis karena dapat melukai perasaan orang lain. Ungkapan ini mendidik masyarakat untuk mengedepankan empati dalam setiap tutur kata.
4. Pekiri Jarita Belo Alatodea Maondo (Pikirkan ungkapan yang baik, rakyat santun dan patuh)
Bagian ini merupakan penegasan agar setiap kata yang keluar memiliki manfaat, bukan mudarat. Dengan berpikir sebelum berbicara, seseorang mencerminkan kebijaksanaan, sehingga masyarakat akan memandangnya sebagai pribadi moada (santun) dan maondo (patuh/tunduk pada norma).
5. Relevansi dalam Kehidupan Modern
Di era digital, pesan bijak ini semakin relevan. Media sosial kerap menjadi ruang yang penuh komentar bebas tanpa etika. Ungkapan Kaili ini dapat menjadi pedoman etis dalam menggunakan bahasa digital: menahan diri sebelum menulis, berpikir sebelum berkomentar, serta mengedepankan kesantunan sebagai bagian dari identitas budaya.
Kesimpulan
Ungkapan “Jagai Sumbamu, Nemo Kangudungudu, Nemo Kasabosabo, Pekiri Jarita Belo Alatodea Maondo” mencerminkan falsafah hidup masyarakat Kaili yang menjunjung tinggi etika berbahasa. Pesan moralnya menegaskan bahwa tutur kata yang santun merupakan fondasi keharmonisan sosial. Nilai ini tidak hanya berlaku dalam interaksi tradisional, tetapi juga relevan sebagai etika komunikasi di era moderen.(*)