Interkoneksitas Pendidikan dan Kearifan Lokal dalam Membangun Peradaban Masyarakat Sulawesi Tengah

Oleh: Dr. H. Suaib Djafar, M.Si / Filsuf Kaili / Budayawan Sulteng

SULAWESI Tengah (Sulteng), dengan kekayaan budaya dan sumber daya alamnya, menyimpan potensi besar dalam membangun peradaban masyarakat yang berakar kuat pada nilai-nilai lokal. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, interkoneksitas antara pendidikan dan kearifan lokal menjadi landasan strategis dalam membentuk karakter, identitas, dan kemajuan sosial masyarakat Sulteng.

Pendidikan Sebagai Pilar Peradaban

Pendidikan adalah sarana utama dalam mentransmisikan ilmu pengetahuan, membentuk karakter, dan menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan zaman. Namun pendidikan tidak semata-mata transfer ilmu dari Barat atau luar daerah, melainkan harus mampu mengakomodasi konteks lokal agar tetap relevan dan membumi. Di sinilah pentingnya mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam sistem pendidikan formal maupun non-formal di Sulawesi Tengah.

Kearifan Lokal: Akar Budaya yang Mengakar

Kearifan lokal merupakan nilai-nilai, norma, pengetahuan, dan praktik tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di Sulawesi Tengah, kearifan lokal seperti falsafah hidup “Movia belo Mosipeili Mosimpoasi ” (berbuat baik, Peduli tanpa pamrih), Saling Menghargai Nolunu, Nosialapale sistem gotong royong, Libu, Sintuvu (Musyawarah, sepakat) Mosipatuju: dalam budaya Kaili, Ombo Peduli Lingkungan serta penghormatan terhadap alam dan leluhur, sebagai Kearifan Lokal merupakan modal sosial yang sangat kuat. Nilai-nilai ini mengandung muatan etika, moral, serta filosofi hidup yang mampu memperkuat kohesi sosial dan memperhalus peradaban.

Membangun Interkoneksitas: Strategi Integratif

Untuk membangun peradaban masyarakat Sulteng yang berdaya saing sekaligus berkarakter lokal, diperlukan strategi integratif antara pendidikan dan kearifan lokal. Beberapa pendekatan yang bisa dilakukan antara lain:

1. Kurikulum Kontekstual: Mengembangkan materi ajar yang memasukkan sejarah lokal, cerita rakyat, filosofi budaya, dan praktik adat sebagai bagian dari pembelajaran. Ini tidak hanya memperkuat identitas, tapi juga meningkatkan apresiasi terhadap nilai-nilai lokal.

2. Pendidikan Karakter Berbasis Budaya: Menanamkan nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, solidaritas, dan tanggung jawab melalui pendekatan budaya lokal, misalnya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan bijak Belo rapovia, Belo rakava (Kebaikan diperbuat baik pula didapatkan), Pakanasa Mata Mangantoaka, Pakatada Unto Mempekiri, Pakanoarara Ritimbanga atau cerita rakyat dalam proses pembelajaran.

3. Pemberdayaan Guru dan Tokoh Adat: Melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh adat sebagai bagian dari ekosistem pendidikan, sehingga transfer pengetahuan tidak hanya berasal dari guru formal, tetapi juga dari para penjaga kearifan.

4. Revitalisasi Tradisi Lokal: Mendorong generasi muda untuk terlibat dalam pelestarian budaya melalui pendidikan informal seperti sanggar seni, pelatihan adat, dan festival budaya.

Menatap Masa Depan: Peradaban yang Humanis dan Berkelanjutan

Peradaban bukan sekadar kemajuan teknologi atau ekonomi, melainkan juga kualitas manusia dan nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat. Interkoneksitas antara pendidikan dan kearifan lokal di Sulawesi Tengah berpotensi menciptakan masyarakat yang cerdas secara intelektual, tangguh secara sosial, dan luhur secara moral.

Dengan menjadikan pendidikan sebagai ruang dialog antara tradisi dan inovasi, Sulawesi Tengah dapat membangun peradaban yang tidak hanya modern, tetapi juga berakar, bermakna, dan berkelanjutan.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *