Menjaga Generasi, Menghidupkan Adat

Oleh: Dr. H. Suaib Djafar, M.Si / Filsuf Kaili / Budayawan Sulteng

_Budaya dan Perlindungan Anak: Pencegahan Perkawinan Usia Anak dalam Perspektif Adat. Menjaga Generasi, Menghidupkan Adat._

By: Dr. H. Suaib Djafar, M.Si

PERKAWINAN usia anak masih menjadi persoalan serius di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di wilayah-wilayah yang kental dengan nilai adat dan budaya seperti Sulawesi Tengah. Seringkali perkawinan dini terjadi bukan semata karena kemauan anak, melainkan karena tekanan sosial, kemiskinan, atau ketidaktahuan akan risiko yang ditimbulkan. Namun, perlu disadari bahwa adat sejatinya tidak pernah mendorong anak untuk dinikahkan sebelum waktunya.

Dalam perspektif adat, terutama pada komunitas masyarakat adat seperti suku Kaili, perkawinan bukanlah urusan pribadi semata. Ia merupakan peristiwa sosial dan budaya yang menyangkut kehormatan keluarga dan keseimbangan sosial masyarakat. Oleh karena itu, adat memuat serangkaian norma, tahapan, dan pertimbangan sebelum sebuah perkawinan dinyatakan layak dan sah secara adat.

Adat Menjaga, Bukan Merusak

Adat bukanlah penyebab perkawinan anak, justru sebaliknya—adat mengajarkan kedewasaan, tanggung jawab, dan kesiapan hidup sebagai syarat utama sebelum seseorang memasuki jenjang perkawinan. Dalam tatanan adat Kaili, misalnya, proses menuju pernikahan melibatkan penilaian terhadap kesiapan mental, fisik, ekonomi, hingga kemampuan membangun rumah tangga.

Anak-anak adalah pewaris adat dan budaya. Mereka belum sepenuhnya matang untuk menanggung beban pernikahan yang secara adat mengandung konsekuensi sosial yang besar. Oleh karena itu, mendorong anak menikah di usia dini justru bertentangan dengan hakikat perlindungan adat terhadap generasi penerus.

Peran Adat dalam Pencegahan

Adat memiliki peran penting dan strategis dalam upaya pencegahan perkawinan usia anak. Lembaga adat, tokoh adat, dan keluarga besar dapat menjadi garda terdepan dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya menunda perkawinan hingga usia yang matang. Pendekatan berbasis adat lebih efektif karena berangkat dari nilai-nilai yang telah hidup lama di tengah masyarakat.

Dengan menghidupkan kembali forum adat, seperti musyawarah keluarga, sidang adat, atau nasihat-nasihat tokoh adat, maka kesadaran kolektif masyarakat dapat dibangun untuk melindungi anak-anak dari pernikahan dini.

Selain itu, kolaborasi antara tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah sangat diperlukan untuk menyatukan visi dalam menjaga hak-hak anak. Regulasi yang berpihak pada perlindungan anak akan lebih efektif apabila diperkuat dengan nilai-nilai adat yang memberi legitimasi sosial dan kultural.

Menuju Masyarakat Beradat dan Beradab

Pencegahan perkawinan usia anak melalui pendekatan adat bukan sekadar mempertahankan budaya, tetapi juga memperkuat sistem sosial yang menjunjung tinggi kemanusiaan, pendidikan, dan kesejahteraan generasi muda. Dalam masyarakat yang menjunjung adat, anak-anak bukan hanya individu kecil yang belum berdaya, tetapi mereka adalah harapan dan cermin masa depan.

Dengan demikian, menjaga anak-anak agar tidak menikah sebelum waktunya adalah tanggung jawab bersama yang dilandasi oleh cinta, tanggung jawab, dan kearifan lokal. Adat tidak boleh dijadikan pembenaran atas praktik yang merugikan anak, tetapi harus menjadi alat untuk melindungi dan memuliakan mereka.

Penutup

Perkawinan usia anak bukanlah jalan keluar dari persoalan sosial, melainkan justru sumber dari masalah baru. Dalam perspektif adat, khususnya adat Kaili, pernikahan adalah ikatan suci yang menuntut kesiapan lahir dan batin. Maka dari itu, sudah semestinya kita kembali kepada nilai-nilai adat yang memuliakan anak dan menolak segala bentuk pemaksaan terhadap hak dan masa depan mereka.

Adat bukan alasan untuk merampas masa depan anak, tapi seharusnya menjadi tameng pelindung bagi mereka menuju kehidupan yang lebih baik.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *