PERAN Badan Musyawarah Adat (BMA) Sulteng dalam Mengatasi Konflik Sosial Melalui Tiga Pilar Tonda Talusi: Pemerintah, Tokoh Agama, dan Tokoh Adat Berbasis Kearifan Lokal.
BMA Sulawesi Tengah terus memainkan peran strategis dalam mendukung pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengatasi, mencegah, dan menyelesaikan konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Upaya ini dilandaskan pada pendekatan kearifan lokal dan sinergi tiga pilar yang dikenal sebagai Tonda Talusi—yakni keterpaduan antara pemerintah, tokoh agama, dan tokoh adat.
Konsep Tonda Talusi, yang berakar kuat dari budaya masyarakat Sulawesi Tengah, mencerminkan filosofi hidup berdampingan secara damai, adil, dan seimbang. Pendekatan ini dinilai sangat relevan dalam konteks penyelesaian konflik sosial yang kerap kali tidak hanya menyangkut aspek hukum, tetapi juga nilai-nilai budaya, keyakinan, dan relasi sosial.
Sinergi Tiga Pilar: Tonda Talusi
1. Pemerintah bertindak sebagai pemegang otoritas negara dan pengambil kebijakan publik. Dalam konteks konflik sosial, pemerintah menjadi penggerak kebijakan yang menjamin keadilan sosial dan keamanan masyarakat.
2. Tokoh Agama berperan penting dalam membangun kesadaran spiritual dan etika moral masyarakat. Ketika terjadi konflik, peran mereka menjadi penyejuk dan penengah dengan pesan-pesan damai yang berakar dari nilai-nilai keagamaan.
3. Tokoh Adat, melalui BMA, menjadi penjaga nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Dalam banyak kasus, pendekatan adat terbukti efektif dalam mendinginkan ketegangan sosial melalui musyawarah dan penyelesaian berbasis hubungan kekeluargaan serta norma adat.
BMA Sulteng sebagai Fasilitator Damai
Badan Musyawarah Adat Sulteng berperan sebagai fasilitator dalam memperkuat sinergi Tonda Talusi, dengan memediasi berbagai kepentingan yang muncul di masyarakat, baik yang berkaitan dengan konflik lahan, sengketa antarwarga, maupun persoalan sosial lainnya. Melalui pendekatan dialog, rekonsiliasi, dan penguatan kelembagaan adat di tingkat akar rumput, BMA membangun ruang-ruang damai yang inklusif dan berkeadilan.
Pencegahan dan Penyelesaian Berbasis Kearifan Lokal
Dalam upaya pencegahan konflik, BMA mendorong pelibatan tokoh adat dan tokoh agama dalam proses pengambilan keputusan lokal, termasuk dalam perumusan peraturan desa, pengawasan sosial, dan edukasi kepada generasi muda. Nilai-nilai seperti “Nolunu, Nosialapale (Gotongroyong) ,Mosipeili Mosimpoasi “(Saling Membantu dan Mengasihi)” serta molibu ( Musyawarah) Menghasilkan Sintuvu”( Kesepakatan) Bermusyawarah Menghasilkan Kesepakatan terus dihidupkan sebagai pedoman hidup bersama.
Dukungan Regulasi melalui Perda 8 Tahun 2021
Peran BMA secara legal diakui melalui Peraturan Daerah Sulawesi Tengah Nomor 8 Tahun 2021, yang memberikan ruang kepada lembaga adat untuk terlibat aktif dalam penyelesaian konflik dan pelestarian nilai-nilai budaya. Ini menjadi dasar kuat bagi BMA untuk bekerja berdampingan dengan aparat hukum dan pemerintahan formal dalam menyelesaikan konflik tanpa kekerasan.
Membangun Ketahanan Sosial Berbasis Budaya
Dengan mengedepankan pendekatan Tonda Talusi dan kearifan lokal, BMA Sulteng membuktikan bahwa penyelesaian konflik tidak harus selalu melalui jalur formal yang kaku, tetapi bisa ditempuh dengan cara yang humanis, partisipatif, dan berakar pada nilai-nilai lokal. Sinergi ini bukan hanya meredam konflik, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial, mempererat kohesi masyarakat, dan menjaga keutuhan Sulawesi Tengah sebagai tanah yang damai dan bermartabat.(*)