Mamasa, Manakarra Pos – Tradisi marraruk tondo’ atau malleponggi tondok di Desa Buntubuda, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa.
Acara ini dilaksankan saat peresmian Kampung Baru di wilayah Tetean (Mamasa Red) beberapa waktu lalu.
Marraruk tondok dilakukan sebagai salah satu Sangka’ (Tradisi) warisan leluhur yang sampai saat ini terus diperlihara oleh masyarakat Mamasa.
Sangka’ adalah istilah dalam bahasa daerah Mamasa yang berarti tradisi atau kabiasaan.
Setiap pergelaran atau upatlcara kehadatan, sangka’ tak lepas dari masyarakat di Kabupaten Mamasa.
Diawali dengan penyembelihan hewan di halaman rumah warga berupa ayam jantan, Babi dan Anjing upacara marraruk tondok dilaksanakan.
Kemudian dilanjutkan dengan penanaman sabang merah atau Tabang dalam bahsa daerah serta pohon beringin yang dikenal dalam bahasa Mamasa Barana’.
Acara ini dipimpin oleh pemangku adat Rambu’ Saratu’, Lento Dessiande bersama tokoh masyarakat Buntubuda bersama jajaran pemerintahan desa setempat.
Upacara Marraruk dimulai dari arah barat perkampungan dilakukan penanaman Tabang dan Beringin.
Dilanjutkan ke selatan kemudian ke arah timur dan berakhir pada arah utara begitulah prosesnya yang dipandu langsung Lento Dessiande.
Menurut Lento Dessiande, pohon beringin merupakan simbol bahwa dalam kampung terssbut ada yang ditunjuk sebagai orang tua kampung atau Barana’ Tondok.
Sementara pohon Tabang menunjukkan batas wilayah pemukiman warga atau kampung.
Penjelasan tentang sangka’ atau kabiasaan.
Puana Tondok atau pemimpin kampung harus ditetapkan untuk menjaga tradisi dan budaya yang dikenal dalan bahasa Mamasa yakni (Mutampe sangka’ anna kabiasaan).
Dalam tatanan hidup di perkampungan sebagaimana ajaran leluhur sebab sejak dahulu telah ada orang yang dituakan dalam keluarga dan dalam sebuah perkampungan.
Mesakada Dipotuo Pantan Kada Dipomate (Falsafah orang Mamasa), orang tua terdahulu kemudian memutuskan untuk menetapkan perkampungan dengan memotong tiga hewan sembelihan yakni Ayam, Babi dan Anjing.
Setelah beberapa waktu mengamati kehidupan manusia ternyata ada kemajuan hidup karena tuhan menyukai hal itu maka ditetapkanlah sangka’ paktondokan atau Tradisi Perkampungan.
“Jadi ini bukan sebatas keinginan manusia namun sangka’ ini lahir setelah orang tua berbuat dan mengamati bahwa Tuhan menyukai itu maka hal itu diteruskan, bahkan setiap bercocok tanam juga orang tua dulu ma’ pelemba (Mengamati) kapan waktu yang baik,” Kata Lento Minggu (14/7/2024).
Ketua BPD Desa Buntubuda, Deppa Sarrin mengambil alih microphone, melalui nada yang halus ia berusaha mengingatkan poin tentang penentuan orang tua dalam Kampung Tetean.
“Orang tua dalam kampung bukan berarti soal urutan umur namun siapa yang bisa berbuat dan memikirkan masyarakat dan tidak mengedepankan urusan pribadi, ini tentunya harus diputuskan warga disini, “ungkap Daniel Sarrin.
Dalam pemilihan tomatua tondok (Orangtua Kampung) itu, Dominggu atau Ambe Sone, Adi atau Ambe Evan dan Dessi Naya atau Ambe Arni sebagai orang yang dituakan di Kampung Tetean.
“Kita bersyukur karena atas penyertaan Tuhan peresmian Kampung Tetean dapat terselenggara dan juga kepada orang tua adat dari Rambusaratu boleh hadir memimpin Parrarukan,” ungkap Armas.***