Mandura: Makanan Tradisional Khas Kaili yang Sarat Makna

Oleh: Dr. H. Suaib Djafar / Filsuf Kaili / Budayawan

Suaib Djafar berdiskusi dengan Wakil Ketua PWI Sulteng Fery eL Shirinja.

 

MANDURA adalah salah satu makanan tradisional khas masyarakat Kaili di Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang memiliki nilai budaya dan filosofi mendalam.

Hidangan ini biasanya hadir menjelang Hari Raya Idul Fitri dan menjadi bagian penting dari tradisi masyarakat Kaili. Mandura terbuat dari ketan merah, putih, dan hitam yang diolah dengan santan kelapa dan garam, lalu dibentuk, disusun, dan dibungkus secara khas.

Proses Pembuatan Mandura

Pembuatan Mandura dimulai dengan mengukus tiga jenis beras ketan, yaitu ketan merah, putih, dan hitam, hingga matang. Setelah itu, ketan dicampur dengan santan kelapa yang sudah diberi sedikit garam sebagai perasa. Selanjutnya, ketan dicetak berbentuk bulat dan disusun secara berlapis.

Penyusunan:
Mandura biasanya disusun dari bawah ke atas dengan pola warna tertentu. Ada yang terdiri dari tiga lapisan (merah, putih, hitam) atau lima lapisan. Setiap lapisan dipisahkan oleh daun pisang muda yang ukurannya sama dengan bulatan ketan.

Pembungkusan:
Setelah tersusun, Mandura dibungkus dengan tiga lapisan daun. Lapisan pertama menggunakan daun pisang muda, lapisan kedua menggunakan daun yang telah dikukus, dan lapisan terakhir dengan daun pisang besar untuk membungkus secara menyeluruh. Dalam bahasa Kaili, satu tangkai Mandura disebut Sampaku.

Pengikatan:
Mandura diikat dengan tali dari daun silar (dalam bahasa Kaili disebut Lui) hingga seluruh permukaan Mandura tertutup rapat. Setiap dua Mandura kemudian diikat bersama, yang dalam bahasa Kaili disebut Sandal.

Proses Pematangan:
Mandura yang telah dibungkus dimasak dalam belanga tanah menggunakan kayu bakar selama 6 hingga 9 jam. Proses ini membuat Mandura matang sempurna, tahan lama, dan memiliki tekstur yang lembut.

Makna Filosofis Mandura

Mandura bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga memiliki pesan filosofis yang dalam:

1. Simbol Kebersamaan:
Ketan merah, putih, dan hitam melambangkan harmoni antara tokoh adat, agama, dan pemerintah. Warna-warna ini menggambarkan keberagaman yang bersatu untuk membimbing masyarakat ke jalan kebaikan.

2. Nilai Kesabaran dan Ketelitian:
Proses pembuatan Mandura yang memakan waktu lama menunjukkan pentingnya ketabahan, kerja keras, dan perhatian terhadap detail. Hal ini menjadi cerminan nilai-nilai luhur masyarakat Kaili.

3. Warisan Budaya:
Mandura adalah simbol kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Makanan ini mencerminkan semangat gotong royong dan rasa syukur masyarakat Kaili.

Mandura sebagai Bekal Perjalanan

Dahulu, Mandura sering dijadikan bekal saat berlayar atau menunaikan ibadah haji menggunakan kapal laut. Ketan yang dimasak hingga tahan lama memungkinkan makanan ini menjadi pendamping perjalanan yang praktis dan bergizi.

Pelestarian Tradisi

Hingga kini, Mandura tetap menjadi bagian dari budaya masyarakat Kaili, terutama pada momen-momen penting seperti Idul Fitri. Tradisi ini tidak hanya melestarikan warisan leluhur tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya kebersamaan, kesabaran, dan kerja keras dalam kehidupan.

Sebagaimana filosofi masyarakat Kaili yang tertuang dalam pepatah: “Mosangu kita maroso, morambanga kita marisi rilivutontanah Kaili” – bersama kita kuat, bersatu kita berhasil membangun tanah Kaili.

Mandura menjadi lambang dari semangat ini, mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang relevan sepanjang masa.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *