Dr. H. Suaib Djafar, M.Si
TANGGA Banggo adalah sebuah peristiwa budaya yang mencerminkan nilai-nilai religi, sosial, dan kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat Kaili. Tradisi ini tampak dalam aktivitas Libu Menghasikan Sintuvu, yang dilakukan melalui musyawarah komunitas di Baruga dan dipimpin oleh ketua dewan adat.
Prosesi Tangga Banggo dalam Musyawarah Adat
Ketika waktu musyawarah telah ditentukan, ketua dewan adat membuka pertemuan dengan menanyakan kesiapan peserta:
“Berimba Naria puramo Nagopamo Apa Waktunamo mompamula libu?”
(Bagaimana? Sudah ada semua? Karena waktu yang kita tentukan telah tiba).
Jika semua peserta menyatakan kesiapan, ketua adat memerintahkan:
“Ane nasagenamo; Banggo Tangga itu” (Angkat Tangga!)
Perintah ini menandakan dimulainya musyawarah (Molibu) sebagai bentuk kearifan budaya lokal. Prosesi pengangkatan tangga memiliki makna penting, yaitu:
1. Disiplin dan Tepat Waktu
Dengan mengangkat tangga, peserta musyawarah harus hadir sesuai waktu yang ditentukan.
2. Menjaga Keamanan dan Ketertiban Musyawarah
Tangga yang diangkat mencegah gangguan dari orang luar atau hal lain, seperti binatang, sehingga jalannya musyawarah tetap lancar.
3. Mewujudkan Kesepakatan yang Bernilai dan Bermakna
Keputusan musyawarah diharapkan membawa manfaat bagi kesejahteraan seluruh komunitas masyarakat Kaili.
Makna Simbolis Tangga Banggo
Tangga Banggo terbuat dari satu batang pohon kayu bulat yang dibuat bertingkat (Nitengga) sebagai pijakan naik menuju Baruga, tempat musyawarah berlangsung. Struktur tangga ini memiliki makna filosofis:
Setiap pijakan melambangkan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai kesepakatan yang bijaksana.
Tangga yang kokoh menunjukkan pentingnya kebersamaan dan kepercayaan dalam bermusyawarah.
Disiplin dan akhlak mulia menjadi dasar dalam mencapai keputusan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Kesimpulan
Tradisi Tangga Banggo dalam budaya Kaili bukan sekadar prosesi, tetapi juga simbol dari kebersamaan, kepercayaan, disiplin, dan keikhlasan dalam mencapai keputusan yang membawa kesejahteraan bersama. Nilai-nilai ini menjadi warisan kearifan lokal yang tetap relevan dalam kehidupan masyarakat modern.(*)