Hari ini, 18 April 2025, Kabupaten Pasangkayu genap berusia 22 tahun.
Sebuah usia yang secara manusia telah melewati masa remaja dan bersiap menuju kedewasaan.
Namun, jika bicara soal pembangunan, wajah Pasangkayu masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.
Di bawah kepemimpinan H. Yaumil Ambo Djiwa dan Dr. Hj. Herny di tahun pertama periode kedua, masyarakat menaruh ekspektasi akan adanya percepatan pembangunan dan inovasi.
Sayangnya, melewati seratus hari kerja semuanya terlihat biasa-biasa saja.
Meski ada perubahan, tapi kita harus jujur Pasangkayu terlihat belum jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Prestasi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) memang rutin diraih. Tapi WTP bukan tolok ukur kemajuan di lapangan.
WTP hanya bicara administrasi keuangan, bukan kualitas kehidupan masyarakat.
Dinas Pendidikan masih kekurangan guru. Dinas Catatan Sipil masih saja mengalami kekosongan blangko KTP.
Sektor pariwisata?. Potensi besar belum tergarap maksimal karena kurangnya arah dan komitmen yang kuat.
Sementara itu, sektor perkebunan dan pertanian masih jauh dari harapan.
Bantuan bibit jagung dari kementerian sebanyak 30 Ton, tak jelas nasibnya, ditanam di mana, siapa yang mengelola, dan apakah benar-benar dipanen, semua masih jadi misteri.
Dan yang menarik untuk dicermati adalah agenda seremoni seperti napak tilas yang tetap digelar di tengah kondisi anggaran yang dipangkas.
Tentu, mengenang perjuangan para pendahulu adalah hal penting. Tapi bukankah itu sudah dilakukan setiap tahun? Kenapa tidak berani berpikir out of the box? Kenapa tidak membuat gebrakan agar napak tilas menjadi lebih bermakna dan berdampak?.
Disinilah peran penting seorang konseptor dibutuhkan. Bukan sekadar mengulang rutinitas tahunan, tapi menghadirkan cara baru yang edukatif dan menginspirasi generasi muda.
Sebagian anggaran seremoni semestinya bisa dialihkan untuk hal-hal yang lebih menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, seperti anak-anak putus sekolah, peningkatan kesejahteraan guru honor, atau pelayanan publik yang masih terseok-seok.
Ulang tahun ke-22 Pasangkayu semestinya bukan hanya momen untuk mengibarkan spanduk dan menggelar seremoni.
Ini harusnya jadi waktu untuk mengevaluasi, sudah sejauh mana pembangunan berjalan? Dan apakah rakyat benar-benar merasakannya?
Karena kedewasaan sebuah daerah tak hanya dinilai dari umur atau acara tahunan, tapi dari keberanian mengambil langkah nyata dan berpihak pada rakyat.
Peningkatan sumber daya manusia, bukan hanya disektor pendidikan pormal, menyangkut kesejahteraan guru honorer, juga sarprasnya.
Selain itu peningkatan SDM dalam pengelolaan SDA, bagaimana petani dan nelayan dapat meningkatkan produktivitasnya, yang tentunya butuh intervensi dari pemerintah.