MASYARAKAT Kaili di Sulawesi Tengah kaya akan ungkapan-ungkapan bijak yang merefleksikan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu ungkapan yang sarat makna adalah:
“Nemavimbi maulerianuapa, nemaea maunapakasih. Noanggapa nuapa nidekeintupukakita, niude mbapakasa alarauli nabelo.” (“Tidak perlu rendah hati walau tidak punya, jangan malu walau miskin. Lebih berharga apa yang diberikan Tuhan pada kita daripada memaksakan diri untuk mendapatkan pujian yang baik.”).
Ungkapan ini tidak hanya mengandung nasihat moral, tetapi juga merupakan cerminan pandangan hidup masyarakat Kaili terhadap kesederhanaan, kejujuran, dan harga diri.
1. Tidak Malu Menjadi Sederhana
Bagian pertama, “Nemavimbi maulerianuapa, nemaea maunapakasih“, mengajarkan bahwa kemiskinan atau kekurangan bukanlah alasan untuk merasa rendah diri. Dalam budaya Kaili, kemuliaan seseorang tidak diukur dari harta benda, tetapi dari sikap, etika, dan kejujurannya. Masyarakat diajak untuk tetap tegar dan percaya diri meskipun berada dalam keterbatasan.
Hal ini menjadi nilai penting dalam menjaga martabat pribadi dan sosial, sekaligus menolak sikap inferior atau rasa malu yang tidak perlu hanya karena kondisi ekonomi.
2. Bersyukur Atas Pemberian Tuhan
Bagian kedua, “Noanggapa nuapa nidekeintupukakita“, bermakna bahwa segala sesuatu yang datang dari Tuhan memiliki nilai yang tak ternilai. Apapun yang kita miliki saat ini—baik rejeki, kemampuan, atau kondisi kehidupan—merupakan bentuk pemberian yang patut disyukuri dan dijaga. Ini mencerminkan filosofi hidup yang menerima dan berserah, sekaligus tetap menghargai diri sendiri.
Dalam masyarakat Kaili, rasa syukur menjadi fondasi utama dalam menghadapi kehidupan. Tidak iri terhadap orang lain, tidak memaksakan diri, dan senantiasa merasa cukup dengan apa yang ada.
3. Menolak Kepalsuan demi Pujian
Bagian terakhir, “Niude mbapakasa alarauli nabelo”, memperingatkan agar kita tidak terjebak dalam kepura-puraan atau memaksakan sesuatu demi mendapatkan pujian atau pengakuan dari orang lain. Kehidupan yang dibangun di atas kepalsuan tidak akan membawa kedamaian, justru menimbulkan beban dan tekanan sosial.
Pujian sejati lahir dari keaslian dan kejujuran. Dalam budaya Kaili, lebih baik hidup sederhana namun jujur, daripada tampak mewah namun penuh kepura-puraan.
Penutup
Ungkapan ini adalah warisan kearifan lokal yang layak untuk terus dijaga dan diwariskan. Di tengah arus modernisasi dan budaya konsumtif yang semakin kuat, nilai-nilai seperti kesederhanaan, kejujuran, rasa syukur, dan harga diri menjadi fondasi penting dalam membangun kehidupan yang bermakna.
Masyarakat Kaili melalui ungkapan ini ingin mengingatkan kita semua bahwa kemuliaan hidup tidak terletak pada apa yang tampak dari luar, tetapi pada bagaimana kita menghargai diri sendiri dan mensyukuri apa yang telah Tuhan anugerahkan.(*)