Gempa Palu: Duka dan Kekuatan Kearifan Lokal untuk Bangkit

Oleh: Dr. H. Suaib Djafar, M.Si / Filsuf Kaili / Budayawan Sulteng

GEMPA Bumi, Tsunami, dan Likuefaksi yang melanda Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 menjadi salah satu bencana paling dahsyat dalam sejarah Indonesia modern. Episentrum gempa di sepanjang Sesar Palu-Koro tidak hanya menghancurkan infrastruktur, tetapi juga menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong. Artikel ini menyoroti bagaimana masyarakat menghadapi duka dan derita pasca-bencana dengan bertumpu pada kearifan lokal, nilai solidaritas, dan filosofi budaya Kaili yang memberi kekuatan untuk bangkit kembali.

PENDAHULUAN

Sesar Palu Koro adalah salah satu sesar aktif di Indonesia yang menjadi sumber utama gempa bumi 7,4 SR pada 28 September 2018. Dalam hitungan detik, kota Palu dan sekitarnya diguncang hebat, disusul tsunami yang melanda Teluk Palu dan fenomena likuefaksi yang menelan ribuan rumah. Bencana ini menelan ribuan korban jiwa dan meninggalkan luka yang mendalam bagi masyarakat.

Namun, di balik penderitaan itu, terdapat kearifan lokal yang menuntun masyarakat untuk tetap tegar. Nilai-nilai adat Kaili dan tradisi gotong royong menjadi pegangan dalam menghadapi masa-masa sulit.

DUKA DAN DERITA MASYARAKAT

1. Kehilangan Jiwa dan Harta: Ribuan orang meninggal dunia, puluhan ribu kehilangan tempat tinggal, dan infrastruktur kota luluh lantak. Kesedihan melanda setiap keluarga.

2. Trauma Kolektif: Gempa dan tsunami menciptakan ketakutan yang panjang. Setiap guncangan kecil mengingatkan pada tragedi 2018, meninggalkan luka batin yang sulit terhapus.

3. Kerusakan Sosial dan Ekonomi: Pasar tradisional, sekolah, rumah ibadah, hingga fasilitas kesehatan rusak parah. Kehidupan ekonomi masyarakat berhenti seketika.

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI PENYANGGA JIWA

1. Ungkapan Filosofis Kaili, berupa Petuah “Ane Nadungga, Peangga,” (jika tumbang, bangkitlah) dan Ane Naombo Pakarisi (Jika runtuh tegaklah kembali), menjadi kekuatan moral untuk melawan keputusasaan.

2. Mosangu (Gotong Royong), yaitu Budaya mosangu menghidupkan solidaritas sosial. Masyarakat saling membantu membangun kembali rumah, berbagi makanan, dan menopang satu sama lain.

3. Mombine, langgai Nosipeili Nosangu Naroso (Saling Menguatkan), yaitu dalam penderitaan, muncul kepedulian mendalam. Saling menguatkan menjadi cara masyarakat mengobati luka batin.

4. Harmoni dengan Alam, merupakan Kearifan lokal yang mengajarkan bahwa bencana bukan hukuman, melainkan pengingat agar manusia tidak melupakan keseimbangan dengan alam.

Refleksi Filosofis Tragedi Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong mengajarkan bahwa kehidupan manusia selalu berada dalam lingkaran harmoni dengan alam. Gempa dan tsunami tidak hanya meninggalkan keruntuhan fisik, tetapi juga pesan untuk kembali pada keseimbangan ekologis. Kearifan lokal menjadi fondasi spiritual yang membuat masyarakat tidak larut dalam duka, melainkan mampu menata harapan baru.

KESIMPULAN

Bencana 28 September 2018 adalah duka mendalam bagi masyarakat Sulawesi Tengah. Namun berkat kearifan lokal, nilai budaya, dan semangat kebersamaan, masyarakat Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong mampu bangkit dari reruntuhan. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa di balik derita, terdapat kekuatan budaya yang menjaga manusia untuk tetap hidup dalam harmoni dengan alam dan sesama.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *