DI TENGAH derasnya arus zaman dan perubahan sosial yang terus bergulir, komunitas masyarakat Kaili memanggil para lelaki muda—pelanjut generasi, harapan orang tua, dan penjaga marwah suku—untuk mendengar kembali suara leluhur. Suara yang tidak lantang, namun kuat dan tajam. Pesan yang bukan sekadar kata-kata, melainkan pedoman hidup.
“Nemoaga Mondodo Monggave Alamanggava” (Jangan hanya merenung, bergeraklah untuk mendapatkan sesuatu)
Hidup bukanlah tempat bagi mereka yang hanya diam menunggu. Leluhur Kaili mengajarkan bahwa keberuntungan tidak datang bagi yang hanya berandai-andai. Bergeraklah. Langkahkan kaki, kencangkan niat, karena hanya dengan tindakan, harapan bisa menjadi kenyataan. Lelaki sejati tidak larut dalam khayal, tetapi bertindak dalam nyata.
“Mokaraja bara aga mosunggi, damobai” (Bekerjalah, walau hanya mengupas kelapa untuk buru kopra)
Tidak ada pekerjaan yang hina bagi mereka yang bekerja dengan hati. Leluhur kita mengajarkan bahwa keringat adalah kehormatan, dan usaha adalah harga diri. Jika belum bisa meraih yang besar, mulailah dari yang kecil. Jangan malu menjadi pemungut kelapa, pembelah kayu, atau penjual hasil bumi. Karena dari situlah nilai kerja keras tumbuh.
“Nemo aga mbasarumaka rajaki dako rilangi” (Jangan hanya berharap rezeki dari langit tanpa bekerja)
Langit tak akan menurunkan rezeki bagi mereka yang bermalas-malasan. Berdoa tanpa usaha hanyalah keinginan kosong. Lelaki Kaili harus menjadi pribadi yang mandiri, gigih, dan pantang menyerah. Rezeki akan datang, tapi ia menuntut jemputan dalam bentuk kerja nyata.
“Ala Masana katuvumu tumai” (Agar baik dan sejahtera di kemudian hari)
Segala perjuangan hari ini adalah untuk masa depan. Leluhur kita percaya bahwa kehidupan yang sejahtera bukanlah hasil instan, melainkan buah dari ketekunan, kerja jujur, dan kesetiaan pada nilai-nilai hidup. Sejahtera bukanlah janji yang mudah, namun bisa diraih jika lelaki muda hari ini mau berjalan dalam jejak yang benar.
Menjadi Lelaki Kaili: Antara Warisan dan Tanggung Jawab
Lelaki Kaili bukan hanya pewaris darah, tetapi juga pemikul nilai. Dalam dirinya harus tertanam jiwa pekerja keras, rasa malu jika bermalas-malasan, dan kesadaran bahwa hidup harus diperjuangkan. Warisan terbesar dari leluhur bukanlah harta, tetapi etika hidup yang membentuk karakter: bergerak, bekerja, bertanggung jawab.
Kepada para lelaki muda—jadilah pelanjut yang teguh, bukan yang lemah. Jadilah penggerak, bukan penunggu. Jadilah cahaya harapan, bukan bayang-bayang kekecewaan. Sebab masa depan tidak dibangun dengan keluhan, tetapi dengan keberanian untuk bertindak.
Pakatada Unto Mompekiri
Paka noa rara ritimbanga Matuvu ntesampesuvu sarara kana Mosipeili, Mosimpoasi ( Cerdas berpikir, Jujur dengan keluarga hidup bersama tetangga peduli dan saling mengasihi) Nuapa belona Nemupatesa dotantotua Patuvu Nuapa Dotara. (Terus hidupkan semangatmu, jangan padamkan harapan orang tuamu). (*)