SALAMA INA: Selamatkan Ibu dan Anak dengan Kearifan Lokal

Penulis: Dr. H. Syuaib Djafar., M.Si & Hj. Siti Norma Mardjanu, SH., M.Si., MH.

DALAM tradisi dan kearifan lokal masyarakat adat Sulawesi Tengah, ibu dan anak menempati posisi yang sangat penting dalam struktur sosial dan nilai-nilai kehidupan. Ibu digambarkan sebagai pohon kehidupan, sumber kasih sayang, pelindung, dan penjaga generasi. Sementara anak adalah warisan adat, yang harus tumbuh dalam lingkungan penuh cinta, kehormatan, dan tanggung jawab bersama.

Berdasarkan semangat inilah, Badan Musyawarah Adat (BMA) Sulawesi Tengah menyelenggarakan kegiatan bertajuk “SALAMA INA” (Selamatkan Ibu dan Anak) dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional Tahun 2025. Dengan tema “Salama Ina Berani Harmoni Untuk Sulteng Nambaso“. kegiatan ini bertujuan untuk menghidupkan kembali peran budaya dalam mendukung kesejahteraan ibu dan anak, serta sebagai bagian dari upaya menekan perkawinan usia anak, mencegah stunting, dan membangun keluarga yang bahagia.

Sejalan dengan tema hari anak Nasional 2025 yakni “Anak hebat, indonesia kuat menuju indonesia emas 2045” sehingga pentingnya membangun keluarga bahagia untuk Indonesia emas.

Kearifan Lokal sebagai Dasar Gerakan

Dalam adat masyarakat Kaili dan komunitas adat lainnya di Sulawesi Tengah, terdapat prinsip-prinsip yang kuat tentang perlindungan anak dan perempuan. Ungkapan seperti:

Ngana,Bijata Rakaboli Mbarambara,Inggu belo raapunaina Maroso rarana, Alamasana katuvuna ripurina (Anak-anak adalah titipan kebaikan dan kekuatan masa depan),

Ina panjaliku, belo nukatuvua nungana Alamasana Nggapurina” (Ibu adalah pelindung kebaikan kehidupan Anak dimasa depan), menjadi dasar filosofi yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, dalam menghadapi tantangan zaman modern—seperti meningkatnya angka perkawinan anak, gizi buruk, dan rusaknya relasi keluarga—perlu ada respons adat yang hidup dan aktif. Bukan hanya sebagai warisan, tetapi sebagai alat transformasi sosial.

Tiga Gerakan, Satu Tujuan

Dalam semangat tersebut, BMA melaksanakan tiga gerakan utama:

1. Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Anak.

Bukan hanya berbicara tentang undang-undang, sosialisasi ini menyentuh akar budaya. Melalui cerita rakyat, petuah adat, dan peran tokoh masyarakat, masyarakat diajak untuk melihat bahwa menikahkan anak sebelum waktunya bukan hanya melanggar hukum, tapi juga mencederai nilai adat yang melindungi generasi penerus.

2. Peduli Anak di Rumah Sakit.

Dalam adat, menjenguk dan mendoakan anak yang sakit adalah bagian dari semangat “Nosipeili Nosipotove Nosimpoasi”( Peduli rasa sepenanggungan dan kasih sayang). Kunjungan ini adalah simbol bahwa anak-anak yang terbaring sakit tetap menjadi bagian dari keluarga besar masyarakat adat dan tidak boleh dilupakan.

3. Gerakan Anak Ceria: Baca Puisi dan Cerita Keluarga.

Anak-anak diberi ruang untuk menyuarakan isi hati, mimpi, dan pengalaman keluarga mereka. Dalam budaya lokal, bercerita adalah warisan penting. Dengan membacakan puisi dan kisah keluarga, anak-anak tidak hanya belajar ekspresi, tapi juga merawat ingatan kolektif yang membentuk jati diri.

Keluarga Bahagia, Adat yang Hidup

Melalui kegiatan “SALAMA INA”, BMA Sulawesi Tengah mengajak masyarakat untuk kembali kepada nilai-nilai luhur adat yang mengedepankan kasih sayang, tanggung jawab, dan kebersamaan dalam keluarga. Sebab dalam adat, kebahagiaan bukan sekadar materi, melainkan terciptanya hubungan yang seimbang antara orang tua dan anak, antara manusia dan nilai-nilai budaya.

Dengan mendekatkan gerakan sosial kepada akar budaya, kearifan lokal tidak hanya menjadi warisan yang dikenang, tetapi juga solusi yang relevan untuk menghadapi tantangan zaman. Karena dalam adat yang hidup, ibu dan anak adalah pondasi peradaban yang harus dijaga bersama. Maroso Ada, Maroso Agama, Maroso Pamarentah Nadea Belona.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *