Selayang Pandang Tentang Libu Potangara Nu Ada Mosoro Sompo

Oleh: Dr. H. Suaib Djafar, M.Si / Filsuf Kaili / Budayawan Sulteng

Tabe….tabe…tabe… kutande ku paka oge kupambaso ka kita sevi sevi pura pura kami metabe. Tinuvu nu ada, balengga nu ada bambarha nu ada, topanjalunggu nu ada, pasipi – pasipi nu ada …… sinina anu naria ri libu potangara nu ada, pamarenta, ante totua totua to panjalunggu agama..

Tabe, rajoko… ratande… rapaka oge, adata to kaili ri livuto nu ngata kaili.

HUKUM adat di tanah kaili merupakan sistim nilai atau norma sosial yang mengatur kehidupan masyarakat secara turun temurun, mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam dan sang pencipta. hukum adat ini tidak hanya menjadi pedoman etika dan moral namun juga mencerminkan identitas dan jati diri masyarakat kaili dalam kebersamaan keragaman dan cintah kasih.

Dalam musyawarah adat baik dalam potangara nuada sampai dengan kegiatan pertanian dan kegiatan sosial kemasyarakatan selalu dalam musyawarah di awali dengan mencicipi sambulu dimulai dari pangulu nuada (ketua adat) yang disebut sambulu pombeka nganga (sambulu pembuka bicara).

Sambulu merupakan simbol keberadaan manusia yang membutuhkan sesama manusia lainnya untuk menjalani hidup bahagia damai dan sejahtera untuk itu bahan sambulu itu terletak di berbagai tempat ada di pegunungan, ada di daratan ada dilautan yang bermakna walau kita berbeda daerah, tempat suku agama tetapi kita bersaudara dalam negara kesatuan ri. sambulu terdiri dari : pinang tumbuh lurus, siri hidup merambah, kapur putih bersih, gambir tegar sabar dan kuat, tembakau bermakna peramu pemersatu. kelima unsur sambulu ini bukan hanya sekedar simbol persembahan, melainkan perlambang dari unsur yang ada dalam tubuh manusia.

Dalam pandangan adat kaili apabila kelima unsur tersebut pinang, sirih, kapur, gambir, dan tembakau menyatukan maka terbentuklah darah dan unsur-unsurnya sebagai lambang kehidupan, oleh karena itu hukum adat dipandang sebagai nafas dan jiwa kehidupan masyarakat yang mengatur segala bentuk hubungan sosial dengan nilai-nilai luhur manusia dalam kebhinekaan berbeda beda tetapi tetap satu warga bangsa indonesia. Hal ini tergambar dalam ungkapan adat kaili yaitu “ada hi kodi – kodi oge- oge nikamu ledo nagana sanggamu, nikambaraka naponu sulapa ampa nipeanggana naroso risi norambanga ante sareana” (adat ini kecil tapi bermakna luas, digenggam tidak cukup segenggang, dihembas memenuhi ruang dan waktu berdiri tegak dengan sareatnya).

Maknanya bahwa adat dalam masyarakat kaili meskipun secara lahiriah tanpak sederhana, namun hakekatnya mengandung nilai-nilai luhur yang luas dan dalam. yang tumbuh dan hidup seiring dengan syariat agama, serta mencerminkan kepedulian dan kebersamaan dalam keragaman, semangat gotong royong, demokrasi dan penghormatan terhadap sesama, cinta kasih terhadap ummat manusia, keharmonisan antar suku dan agama.

Riumba tanah ni jeje risitu langi nitande artinya dimana bumi dipijak disitu langut di junjung. Dalam tradisi dan sistim hukum penghormatan, terhadap tokoh agama dan orang-orang yang berjasa adat masyarakat kaili, bagi peradaban dan pendidikan merupakan nilai luhur yang dijunjung tinggi, maka setiap tindakan yang mencederai kehormatan tersebut, dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap tatanan sosial spiritual dan adat.

Potangara nu ada yang dilaksanakan merupakan bentuk sidang atau peradilan adat tertinggi dalam struktur keadatan masyakat kaili, yang berbasis kearifan lokal dimana unsur dari berbagai wilayah keadatan yaitu dewan adat patanggota dan dewan adat pitunggota, berkumpul yang difasilitasi badan musyawarak adat sulawesi tengah, dalam rangka menyaksikan prosesi sidang peradilan adat terkait dengan ujaran kebencian dan penghinaan terhadap guru tua yang dilontarakan oleh tossala.

Adapun sanksi dari keputusan dewan majelis wali adat, adalah sanksi berat, salam bivi salakana, bangumate dengan jenis givu nu ada atau sanksi adat adalah sebagai berikut:

1. Lima ekor kerbau,

2. Lima mata guma/parang adat

3. Lima buah mangko putih

4. Lima buah piring motiv kelor

5. Lima pes gandisi / κain putih

6. Lima buah dula pompo

7. Sudakah atau sedekah

Satu ekor kerbau telah disembeli dalam prosesi upacara pensucian, sebagai pengganti simbolis dari leher tossala (putu tambolo) atas segala ucapan dan penghinaan yang telah nmenyebabkan luka mendalam, kemarahan jutaan warga alkhairat dan komunitas masyarakat khususnya tokaili.

Prosesi ini merupakan dari sanksi adat yangn disebut dengan salambivi bangu mate yang berarti salah ucap membawa kepada kematian (nilai) menggambarkan betapa besar dampak dari ujaran tersebut terhadap maetabat dan keseimbangan masyarakat adat kaili penyerahan givu nu ada atau mosoro sompo bukan sekedar penyelesaian formal, melainkan bentuk pemulihan spiritual sosial dan moral atas pelanggaran nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat kaili adapun pemberian atau penyerahan sanksi adat ini memiliki dua makna utama yaitu :

1. Penegakan martabat hukum adat sebagai penjaga harmoni dan keadilan sosial di tengah masyarakat,

2. pemulihan moral dan spiritual demi menjaga kehormatan tokoh besar dan mencegah perpecahan sosial akibat ujaran kebencian.

Dengan demikian masyarakat berharap amarah yang sempat membara dapat diredam, dan harmoni yang terganggu dapat pulih kembali dalam bingkai adat, etika dan kebaikan bersama. Mossimpoasi (saling mengasihi), Mossipeili (saling memperhatikan) Mossimpotove (saling menyayangi), Marrosso ada (kuat adat) marosso agama (kuat agama) marosso pamarenta (kuat pemerintah) malino ngapa (aman damai wilayah), dan nadea belona (banyak kebaikannya). (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *