Sinergi O2H dan Lima Pilar Pembangunan di Kabupaten Sigi

Oleh: Dr. H. Suaib Djafar, M.Si / Filsuf Kaili / Budayawan Sulteng

KABUPATEN Sigi di Provinsi Sulawesi Tengah adalah salah satu wilayah yang diberkahi dengan kekayaan alam luar biasa. Terletak di kawasan penyangga Taman Nasional Lore Lindu, wilayah ini memiliki bentang alam yang menawan: pegunungan, sungai, hutan hujan tropis, serta keragaman hayati yang tinggi. Sigi juga memiliki potensi besar di sektor pertanian, perkebunan, pertambangan, serta budaya dan adat istiadat yang hidup di tengah masyarakat lokal—warisan leluhur yang sarat makna dan kearifan.

Namun, meskipun semua potensi ini tersedia, kesejahteraan masyarakat belum sepenuhnya tercapai. Ketimpangan antara kekayaan sumber daya dan kualitas hidup masyarakat menjadi tantangan utama. Inilah yang kemudian melahirkan gagasan besar: menjadikan Kabupaten Sigi sebagai Kabupaten Konservasi berbasis kearifan lokal dan ekosistem.

Konservasi sebagai Jalan Tengah: Menjaga Alam, Memakmurkan Masyarakat

Konservasi tidak hanya soal melindungi alam dari kerusakan. Lebih jauh, ia merupakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan, berkeadilan, dan berbasis nilai lokal. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menjadi dasar hukum untuk mengembangkan wilayah yang menjaga ekosistem namun tetap produktif dan berdaya saing.

Dalam konteks Sigi, konservasi dapat menjadi jalan tengah: menjaga kelestarian Taman Nasional Lore Lindu dan ekosistem hutan lainnya, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pariwisata alam, ekonomi berbasis hasil hutan non-kayu, dan agrowisata berbasis budaya lokal.

Pendekatan O2H: Otak, Otot, dan Hati

Menuju Kabupaten Konservasi membutuhkan pendekatan yang holistik dan menyentuh seluruh dimensi manusia. Pendekatan O2H menjadi strategi yang kuat:

1. Otak – Membangun kesadaran, pengetahuan, dan kreativitas masyarakat. Inovasi dalam pengelolaan lahan, pemanfaatan teknologi, serta edukasi lingkungan jadi bagian penting.

2. Otot – Tindakan nyata dan kerja keras. Konservasi bukan hanya ide, tetapi kerja lapangan yang melibatkan tenaga, kebersamaan, dan semangat gotong royong.

3. Hati – Menumbuhkan empati, cinta terhadap lingkungan, dan tanggung jawab moral untuk menjaga warisan leluhur demi generasi masa depan.

Pendekatan ini menggabungkan aspek rasional, emosional, dan spiritual dalam setiap kegiatan konservasi dan pembangunan berkelanjutan.

Didukung oleh Lima Pilar Pembangunan

Transformasi Sigi menuju Kabupaten Konservasi tidak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan kolaborasi kuat dari lima pilar pembangunan:

1. Pemerintah – Sebagai pengarah kebijakan, pengatur regulasi, dan fasilitator utama pembangunan berbasis konservasi.

2. Masyarakat – Subjek utama perubahan, pemilik kearifan lokal, dan penjaga alam yang sesungguhnya.

3. Akademisi – Penyedia riset, data, dan inovasi berbasis ilmu pengetahuan serta pendekatan partisipatif dalam perencanaan wilayah.

4. Pengusaha – Pelaku ekonomi yang dapat mendorong ekowisata, pertanian berkelanjutan, dan bisnis ramah lingkungan.

5. Media – Penyampai informasi, edukator publik, serta kontrol sosial dalam mengawal komitmen bersama menuju konservasi sejati.

Sigi dan Pariwisata Berbasis Ekosistem

Dengan posisi strategis sebagai pintu gerbang ke Taman Nasional Lore Lindu, Kabupaten Sigi memiliki potensi besar sebagai destinasi ekowisata unggulan. Wisatawan nusantara dan mancanegara bisa menikmati panorama alam yang masih alami, kekayaan budaya Kaili-Kulawi, serta pengalaman spiritual dalam masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan hutan.

Namun, pengembangan ini harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian. Ekowisata harus memberi manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat, tanpa merusak daya dukung lingkungan. Di sinilah pendekatan konservasi menjadi sangat relevan dan dibutuhkan.

Menuju Masa Depan Hijau dan Berkeadilan Kabupaten Sigi memiliki semua modal untuk menjadi pelopor.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *