DI TENGAH kekayaan budaya dan tradisi masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah, terdapat satu tanaman yang tak hanya tumbuh di pekarangan rumah, tetapi juga tumbuh dalam kehidupan dan kearifan lokal mereka: daun kelor. Tanaman dengan nama ilmiah Moringa oleifera ini bukan sekadar bahan masakan, tetapi juga simbol kebersahajaan dan warisan pengobatan tradisional yang diwariskan turun-temurun.
Kelor dalam Tradisi Kuliner Kaili
Bagi masyarakat Kaili, kelor adalah bahan utama dalam berbagai olahan makanan khas, terutama sayur santan kelor. Uniknya, masakan ini dibuat dengan bumbu yang sangat sederhana, yaitu hanya lombok hijau (cabai hijau), garam, dan santan. Kesederhanaan bumbu ini justru memunculkan cita rasa alami daun kelor yang lembut dan khas. Tak hanya itu, kelor juga sering disajikan dalam bentuk sayur bening,dan Aneka menu lainnya dipercaya memberi efek menyehatkan dan menyegarkan tubuh.
Kelor sebagai Obat Tradisional
Selain sebagai sayuran, daun kelor memiliki fungsi penting dalam pengobatan tradisional masyarakat Kaili. Salah satu praktik yang masih dijalankan adalah mengompres kepala yang sakit dengan ramuan dari daun kelor yang ditumbuk bersama air dan bawang merah. Ramuan ini dipercaya secara alami meredakan sakit kepala dan mengembalikan kebugaran tubuh, tanpa harus mengonsumsi obat kimia.
Ungkapan Bermakna: Makan Kelor, Betah di Palu
Dalam masyarakat Kaili, terdapat ungkapan penuh makna yang berbunyi: “Kalau sudah menginjakkan kaki di Palu dan makan kelor, maka dia akan betah tinggal di Palu.” Ungkapan ini bukan hanya sindiran halus, tetapi juga menunjukkan kekuatan emosional dan kultural dari kelor dalam kehidupan masyarakat. Kelor seolah menjadi simbol penyambutan, kehangatan, dan keterikatan batin seseorang dengan tanah Kaili.
—
Kelor bukan sekadar tumbuhan, tetapi bagian dari identitas budaya Kaili. Ia hadir di dapur, di pengobatan, dan dalam nilai-nilai sosial masyarakat. Dalam daun-daun kecilnya, tersimpan kebijaksanaan lokal yang mengajarkan tentang kesederhanaan, kesehatan, dan cinta akan tanah kelahiran.
Jika Anda pernah singgah ke Palu dan merasakan nikmatnya kelor, mungkin saja hati Anda pun mulai terikat dengan tanah Kaili. Karena seperti kata orang tua dulu: “Sekali makan kelor, betah di Palu.” (**)