NOKOLONTIGI: Tradisi Penting dalam Perkawinan Adat Kaili di Sulawesi Tengah

Oleh: Dr. H. Suaib Djafar, M.Si / Filsuf Kaili / Budayawan Sulawesi Tengah

Dr. H. Suaib Djafar, M.Si

NOKOLONTIGI atau yang dikenal juga sebagai “Malam Pacar,” adalah salah satu prosesi adat yang sangat penting dalam rangkaian perkawinan masyarakat Kaili di Palu dan sekitarnya, Provinsi Sulawesi Tengah. Prosesi ini diadakan sehari sebelum akad nikah sebagai bentuk ikrar janji setia antara calon mempelai pria dan wanita.

Nokolontigi memiliki nilai filosofi yang mendalam, melambangkan harapan akan kehidupan rumah tangga yang penuh berkah, damai, dan harmonis.

Makna dan Filosofi Nokolontigi

Nokolontigi bukan sekadar ritual adat, melainkan simbol dari ikrar janji yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh. Dalam tradisi masyarakat Kaili ini, calon mempelai menjalani serangkaian prosesi simbolis yang melibatkan bahan-bahan khas seperti kolontigi (daun pacar), minyak kelapa, bedak, dan batang pohon pisang kecil, serta gelang panjang atau Ponto Ndate dan kain warna kuning.

Kolontigi atau daun pacar melambangkan darah dan kehidupan. Daun pacar yang dioleskan di kuku jari tangan calon mempelai menggambarkan kesetiaan dan pengabdian.

Batang pohon pisang yang kecil menjadi lambang kesuburan dan harapan akan keturunan yang baik.

Ponto Ndate (gelang emas panjang) melambangkan kemuliaan dan martabat.

Kain kuning yang digunakan melambangkan kehormatan dan kebahagiaan.

Lilin di atas beras menjadi simbol cahaya kehidupan yang terhindar dari kesulitan.

Persiapan dan Pelaksanaan Nokolontigi

Persiapan Nokolontigi dilakukan dengan penuh kehati-hatian untuk memastikan setiap simbol adat disiapkan dengan baik:

1. Kolontigi (daun pacar) ditumbuk halus dan diletakkan dalam mangkuk kecil.

2. Batang pohon pisang setinggi ±20 cm dihiasi dengan Ponto Ndate.

3. Dulang berkaki (Dula Nokada) dialasi kain kuning, diisi semangkuk beras, semangkuk air, minyak kelapa, bedak basah, dan serbet putih.

4. Tempat prosesi dilengkapi dengan bantal yang dialasi kain putih dan daun pisang untuk meletakkan tangan calon mempelai.

Proses Nokolontigi dipimpin oleh tokoh adat (berjumlah 3, 5, atau 7 orang) yang akan mengoleskan pacar, minyak kelapa, dan bedak ke tangan calon mempelai. Calon mempelai pria dan wanita menjalani prosesi ini secara terpisah, masing-masing dipimpin oleh tokoh adat pria dan wanita.

Setelah selesai, calon mempelai pria diarahkan oleh orang tua adat dari keluarga wanita untuk menjalani “Mopetiro Paturua” (meninjau tempat peraduan) dan “Nipadupa” (ganti sarung). Makanan yang disediakan di dulang berkaki belum boleh dimakan hingga prosesi pernikahan selesai.

Makna Adat dalam Kehidupan Masyarakat Kaili

Tradisi Nokolontigi menekankan pentingnya komitmen dan tanggung jawab dalam pernikahan. Ikrar yang diucapkan dalam prosesi ini dianggap sakral. Jika dilanggar, masyarakat percaya akan timbul petaka atau aib yang besar, terutama bagi keluarga mempelai wanita.

Dengan menjaga tradisi ini, komunitas Kaili melindungi kehormatan keluarga dan masyarakat serta memastikan kehidupan rumah tangga yang harmonis dan penuh keberkahan.

Kesimpulan
Nokolontigi adalah wujud kearifan lokal masyarakat Kaili yang memiliki makna mendalam dalam membangun kehidupan rumah tangga. Tradisi ini bukan hanya menjaga adat dan budaya, tetapi juga menciptakan hubungan harmonis antara kedua keluarga calon mempelai. Dengan tetap menjaga dan melestarikan tradisi ini, masyarakat Kaili terus menunjukkan betapa pentingnya adat dalam membentuk masyarakat yang penuh cinta kasih, damai, dan sejahtera.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *