PALU, Manakarra Pos – Pegiat hukum dan pemerhati sosial, Moh Falar Anwar, menegaskan bahwa tindakan klaimer yang memanen buah sawit di perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah pelanggaran hukum.
Kasus ini semakin marak terjadi, seperti yang berlangsung beberapa tahun terakhir di PT Agro Nusa Abadi (ANA), Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
“Tidak ada petani sawit yang dipolisikan PT ANA. Itu harus diluruskan,” kata Falar dikutip dari media Metro Sulawesi, Jumat (28/3/2025).
Menurutnya, istilah “petani sawit” yang digunakan untuk pihak yang berseteru dengan PT ANA kurang tepat.
Sebab, berdasarkan pengamatannya, seluruh tanaman sawit di wilayah tersebut berasal dari pembibitan dan penanaman yang dilakukan oleh perusahaan, bukan oleh masyarakat.
Tindakan Pemanenan Ilegal Harus Ditindak
Falar menegaskan bahwa tindakan oknum klaimer yang memaksa masuk ke kebun dan memanen sawit merupakan pelanggaran hukum.
Perusahaan pun berhak mengambil langkah hukum terhadap mereka yang terbukti melakukan pencurian.
“Tindakan ini masuk dalam ranah hukum, karena yang bersangkutan mengambil buah sawit yang bukan miliknya,” jelas Falar.
Ia menambahkan bahwa tindakan para klaimer tersebut melanggar Pasal 362 jo 363 KUHP, yang menyatakan bahwa siapa pun yang mengambil barang milik orang lain dengan cara melawan hukum dapat dijerat pidana.
“Dalam pasal itu disebutkan ada unsur ‘hak’ yang harus dibuktikan. Jika masyarakat merasa berhak atas lahan sawit tersebut, mereka harus menunjukkan bukti dan dasar hukumnya, bukan hanya menggugat tanah lalu mengambil hasilnya,” tegasnya.
Kritik Satgas Konflik Agraria
Falar juga menyoroti peran Eva Bande, yang sebelumnya aktif mengadvokasi kasus ini dan kini menjabat sebagai Ketua Satgas Penyelesaian Konflik Agraria di Sulawesi Tengah.
Ia menilai advokasi yang dilakukan seharusnya lebih menekankan edukasi hukum kepada masyarakat.
“Perjuangan hak harus dilakukan dengan cara yang benar. Jika hak atas tanah telah terbukti, seseorang tidak akan dicap sebagai pencuri. Edukasi seperti ini yang seharusnya diberikan kepada masyarakat,” kritiknya.
Menurutnya, pencurian buah sawit bukan bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat, melainkan penegakan supremasi hukum.
Ia juga mengingatkan bahwa klaim kepemilikan tanah dan kepemilikan tanaman adalah dua hal berbeda.
“Jangan sampai Hak Guna Usaha (HGU) PT ANA dijadikan isu konfrontasi agar masyarakat merasa berhak masuk dan memanen sawit perusahaan. Berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, klaim kepemilikan tanah harus didukung bukti penguasaan dan pemanfaatan selama 20 tahun,” paparnya.
Analogikan Sengketa dengan STNK dan BPKB
Untuk memperjelas perbedaan kepemilikan lahan dan hak atas tanah, Falar mengibaratkannya dengan perbedaan antara Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
“STNK tidak serta-merta menunjukkan kepemilikan kendaraan, sebagaimana SKPT yang dikeluarkan desa tidak serta-merta menjadi bukti kepemilikan tanah. Sedangkan sertifikat hak alas tanah ibarat BPKB, yang memiliki kedudukan hukum lebih kuat,” jelasnya.
Ia pun menekankan pentingnya memahami perbedaan antara Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Sertifikat Hak Milik.
“Saya tidak mendiskreditkan perjuangan masyarakat dalam mengklaim tanahnya di Morowali Utara. Tapi tuntutannya harus berbasis hukum dan tidak tendensius,” ujarnya.
Dukung Penegakan Hukum Polda Sulteng
Sebagai pegiat hukum, Falar menilai langkah Polda Sulawesi Tengah dalam menindak pelaku pencurian sawit sudah sesuai hukum yang berlaku.
Namun, ia juga mengakui bahwa persoalan HGU PT ANA merupakan masalah terpisah yang harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang ada.
“Saya tidak mengatakan bahwa PT ANA benar sepenuhnya, karena faktanya mereka belum memiliki HGU. Namun, kita adalah negara hukum, sehingga segala permasalahan harus diselesaikan secara rasional sesuai aturan yang berlaku,” pungkasnya. (*/)